Cerpen Hikmah
Menjemput
Hidayah
“Aku
tau, memakai kerudung adalah kewajiban bagi seorang muslimah. Aku juga percaya
salah satu manfaat kerudung itu adalah untuk menjaga kehormatan wanita. Aku
juga tau, ayah tidak akan dituntut hingga batal masuk syurga jika aku
mengenakan kerudung dan jadi muslimah yang baik. Aku juga tau, ibu pasti
semakin memuji kecantikanku jika aku mengenakan kerudung. Dan, aku juga sadar
teman-teman muslimah juga tidak akan malu berteman denganku.” Aku Yulika pada
Ima suatu hari. Di beranda kelas dilantai tiga.
“Trus,
kenapa kamu masih belum istiqamah pakai kerudung Ka?” Tanya Ima heran.
“Ma,
aku juga malu tampil seperti ini. Termasuk didepan kamu. Kadang aku sedih Ma.”
Lanjut Yulika dengan nada sesal, raut mukanya muram. Ia tak menghiraukan
pertanyaan Ima.
“Kamu
sedih kenapa Ka? Cerita sama aku. Nanti kita cari solusinya sama-sama. Kamu kan
tau, setiap masalah selalu ada solusi.” Komentar Ima sembari memperbaiki ujung
kerudungnya yang ditiup angin.
***
Sebenarnya
Yulika sudah pakai kerudung sejak 4 tahun lalu. Ketika ia masih SMP. Tapi
sampai sekarang, ketika ia sudah terbiasa memakai seragam putih abu-abu pun ia
belum memakai kerudung atas kemauan hatinya. Masih saja karena tuntutan sekolah
yang mewajibkan berseragam muslimah.
Yulika
sering merenung dikamarnya yang remang perihal masalah kerudung ini. Ia
berfikir ingin melepaskannya saja. Ia merasa malu pakai kerudung karena sifat
dan sikapnya tidak mencerminkan seorang muslimah yang baik.
“Bukan
tidak mencerminkan Ka. Tapi belum mencerminkan.” Ima mengomentari penyataan
Yulika ketika datang ke kos-annya dekat Panti Asuhan Putri.
“Iya,
itu maksudku Ma. Aku belum bisa merasakan nikmat mengenakan kerudung ini. aku
merasa hampa Ma. Aku capek Ima!” Curhat Yulika sambil merebahkan tubuhnya
diatas kasur.
Ima
menghela nafas. Ia kasihan pada Yulika yang sudah bertahun-tahun dilema perihal
kerudungnya.
“Istighfar
Yulika! Kamu nggak boleh putus asa. Kalau kamu melepaskan kerudung,
berarti kamu mau disiksa dalam neraka. Menutup aurat itu kan kewajiban kita
sebagai muslimah. Terlepas dari kamu sudah jadi muslimah yang baik atau belum. Aku
dulunya punya masalah sama dengan masalahmu ini. Kamu tidak boleh berputus asa
atas rahmat Allah SWT Ka! Insya Allah aku akan bantu kamu cari solusinya!” Kata
Ima dengan senyum manisnya.
Yulika
hanya diam. Tak berkomentar apa-apa. Ia sudah bangkit dari tempat tidur dan
melihat ke panti asuhan lewat jendela. Tak berkedip.
“Ka?”
Ima merangkul Yulika yang tetap saja diam. Tak bergeming. Yulika menangis.
“Kamu
kenapa Yulika? Kok nangis? Apa ada kata-kataku yang menyinggung
perasaanmu? Kalau iya, aku minta maaf Ka. Aku nggak bermaksud menyakiti
perasaanmu. Maaf.” Ima memeluk Yulika yang tak kuasa menahan tangisnya.
Ima
semakin bingung. Yulika hanya menangis dipelukannya. Tidak berbicara dan masih
saja menatap keluar jendela. Panti Asuhan Putri.
Ima
menghapus air mata Yulika. Ia tampak lelah.
“Aku
capek Ma. Aku capek dengan perangai burukku ini. Aku juga nggak mau
punya sifat seburuk ini Ima. Aku juga udah berusaha menjadi muslimah yang baik,
tapi yang aku dapatkan hanya kehampaan! Aku capek!” Yulika tiba-tiba melepaskan
pelukan sahabatnya itu.
Ima
diam. Ia ikut menangis. Kasihan melihat Yulika yang merasa hampa.
“Yulika.
Istighfar! Jangan keseringan bicara seperti itu. Kamu harus sabar. Itu juga
merupakan ujian keimanan.” Ima menenangkan sahabatnya.
***
Beberapa
hari terakhir Ima membuka-buka situs internet yang memuat tentang cara-cara
yang bisa membantu datangnya rasa syukur dan hidayah. Ia berinisiatif untuk
mengajak Yulika mendatangi Panti Asuhan Putri setelah pulang sekolah nanti.
Setelah
bel tanda pulang berbunyi. Ima langsung menuju tempat duduk Yulika yang
tertidur menelungkupkan wajah kemeja. Ima membangunkan Yulika dan menceritakan
idenya. Yulika setuju. Mereka memutuskan untuk mengganti seragam sekolah lebih
dulu. Pulang ketempat tinggal masing-masing.
***
Mereka
bertemu didepan gerbang Panti Asuhan Putri. Yulika mengenakan kerudung biru
yang dibelikan ayahnya beberapa minggu lalu. Ketika pulang dari Turki,
menyelesaikan urusan pekerjaan jurnalnya.
Sesampai
didalam bangunan panti. Yulika dan Ima lansung menemui ibu pembina panti dan
meminta izin untuk bercerita-cerita dengan anak-anak panti tersebut. Setelah
memperkenalkan diri. Ima menemani Yulika bercerita dengan beberapa anak
perempuan yang mengenakan kerudung. Salah satunya seorang remaja yang bercerita
tentang awal mula ia mengenakan kerudung.
Remaja
itu menunduk. Tetap bercerita dan menggenggam tangan Yulika dengan erat.
“Dahulu,
aku juga memakai kerudung. Bukan karena keinginan hatiku sendiri, tapi karena
peraturan di sekolahku dulu. aku merasa terpaksa. Beberapa bulan ketika aku
duduk dibangku kelas satu SMP aku masih betah mengenakan kerudung. Namun tepat
beberapa hari ketika akan ujian semester 1, aku melepaskan kerudung. Aku
memutuskan berhenti sekolah, jika harus mengenakan kerudung. Aku merasa nggak
cocok pakai kerudung. Sejak saat itu aku keluar rumah tanpa pakai kerudung.”
Cerita gadis remaja itu. Ia berhenti. Suaranya serak menahan tangis.
“Namun
malang, aku sudah salah melangkah. Hanya beberapa hari setelah aku melepaskan
kerudung. Aku tertimpa musibah besar. Di jalan yang biasa aku lewati ketika
pulang sekolah. Di sana ada preman-preman yang tidak aku kenal. Aku tak
menyangka mereka tega mengangguku sore itu, karena ketika aku masih mengenakan
kerudung mereka tidak pernah sekalipun menggodaku. Apalagi melecehkanku. Malah
mereka memberikanku jalan untuk lewat.” Air mata remaja putri itu telah pasrah.
Menitik satu per satu.
Yulika
menggenggam balik tangannya. Tangan remaja yang tak ingin memberitahu namanya
itu dingin. Ima terpekur mendengar cerita remaja didepannya itu.
Remaja
itu kembali melanjutkan ceritanya.
“Hai
neng. Kamu makin seksi aja kalau nggak pakai kerudung. Sore-sore begini mau
kemana neng?” Goda serang pria.
Aku
ketakutan. Disana sedang tidak ada orang selain preman-preman itu. Sepi. Aku
berusaha menenangkan diri.
“Mau
pulang bang. Permisi.” Jawabku lantas segera menghindar dan berjalan hampir
setengah berlari.
“Tapi
pria lain menghadang langkahku. Mereka menangkapku. Aku pun menangis, berteriak
meminta pertolongan. Tapi malang, ketika itu benar-benar sepi.”
“Sore
itu. Adalah hari yang paling aku sesali Yulika, Ima. Mereka menghancurkan masa
depanku. Mereka menghancurkan semua impianku. Aku tidak gadis lagi. Hanya
karena melepas kerudungku. Aku telah melanggar perintah-Nya. Aku sadar, melepas
kerudung adalah resiko besar untukku yang sering pulang sekolah sore hari. Aku
terlambat menyadari semua itu Yulika, Ima. Dan sejak saat menyakitkan itu, aku
tidak pernah pulang. Aku menuju panti ini. aku tidak berani pulang. Aku malu.”
Sambung remaja perempuan itu.
Ia
menutup ceritanya dengan menyerahkan sehelai kertas pada Yulika. Dikertas itu
tertulis segala impian yang “dulu” ingin dicapainya.
Mereka
menangis. Saling berpelukan.
***
Semenjak
mendengar cerita remaja di Panti Asuhan Putri, Yulika sudah mulai memperbaiki
niatnya. Ia sudah menikmati kerudung yang ia kenakan. Selalu mengenakannya
ketika keluar rumah. Yulika tak lagi merasa bosan dan hampa mencari hidayah Allah
SWT. Ia sudah mendapatkannya melalui cerita remaja yang menjadi inspirasinya.
Semenjak
saat itu pula Yulika berusaha untuk merubah sikapnya. Ia ingin menjadi muslimah
yang baik. Ia mendengarkan kajian-kajian agama di televisi. Ia juga menjadi
motivator di sekolahnya.
Kehendak
Allah berbeda dengan keinginan Yulika yang menginginkan umur panjang. Dalam
sujud di tahajud semalam sebelum Ujian Nasional. Izrail menemuinya. Menjemput
Yulika menuju syurga.
Ima,
sahabat Yulika. Juga gadis remaja Panti Asuhan Putri yang telah menjadi
perantara hidayah untuk Yulika. Merasa kehilangan. Namun bahagia, karena Yulika
pergi dalam ketaatannya kepada Allah SWT.
Cerpen ByLira Yanti El-Baseema
Selesai
Komentar
Posting Komentar